Kamis, 27 Oktober 2011

peran pendidikan sebagai

Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang besar karena didukung oleh
sejumlah fakta positif yaitu
posisi geopolitik yang sangat
strategis, kekayaan alam dan
keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, dan
jumlah penduduk yang besar.
Oleh karena itu, bangsa
Indonesia memiliki peluang yang
sangat besar untuk menjadi
bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat.
Namun demikian, untuk
mewujudkan itu semua, kita
masih menghadapi berbagai
masalah nasional yang kompleks,
yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek politik, di mana
masalahnya mencakup
kerancuan sistem
ketatanegaraan dan
pemerintahan, kelembagaan
Negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak
mendukung, dan
berkembangnya pragmatism
politik. Lalu aspek ekonomi,
masalahnya meliputi paradigm
ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis,
kebijakan fiskal yang belum
mandiri, sistem keuangan dan
perbankan yang tidak memihak,
dan kebijakan perdagangan dan
industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, masalah yang
terjadi saat ini adalah
memudarnya rasa dan ikatan
kebangsaan, disorientasi nilai
keagamaan, memudarnya kohesi
dan integrasi sosial, dan melemahnya mentalitas positif.
Dari sejumlah fakta positif atas
modal besar yang dimiliki bangsa
Indonesia, jumlah penduduk
yang besar menjadi modal yang
paling penting karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa
sangat bergantung pada faktor
manusianya (SDM). Masalah-
masalah politik, ekonomi, dan
sosial budaya juga dapat
diselesaikan dengan SDM. Namun untuk menyelesaikan masalah-
masalah tersebut dan
menghadapi berbagai persaingan
peradaban yang tinggi untuk
menjadi Indonesia yang lebih
maju diperlukan revitalisasi dan penguatan karakter SDM yang
kuat. Salah satu aspek yang
dapat dilakukan untuk
mempersiapkan karakter SDM
yang kuat adalah melalui
pendidikan. Pendidikan merupakan upaya
yang terencana dalam proses
pembimbingan dan
pembelajaran bagi individu agar
berkembang dan tumbuh
menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif,
berilmu, sehat, dan berakhlak
mulia baik dilihat dari aspek
jasmani maupun ruhani. Manusia
yang berakhlak mulia, yang
memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau
dibangun. Bangsa Indonesia
tidak hanya sekedar
memancarkan kemilau
pentingnya pendidikan,
melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan
konsep pendidikan dengan cara
pembinaan, pelatihan dan
pemberdayaan SDM Indonesia
secara berkelanjutan dan merata.
Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM
yang berkarakter merupakan
kebutuhan yang amat vital. Ini
dilakukan untuk mempersiapkan
tantangan global dan daya saing
bangsa. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang
tertuang dalam UU tersebut.
Persoalannya adalah hingga saat
ini SDM Indonesia masih belum
mencerminkan cita-cita
pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk kasus-kasus
aktual, masih banyak ditemukan
siswa yang menyontek di kala
sedang menghadapi ujian,
bersikap malas, tawuran antar
sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat
narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain,
ditemukan guru, pendidik yang
senantiasa memberikan contoh-
contoh baik ke siswanya, juga
tidak kalah mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan
kecurangan-kecurangan dalam
sertifikasi dan dalam ujian
nasional (UN). Kondisi ini terus
terang sangat memilukan dan
mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka
sejak tahun 1945. Memang
masalah ini tidak dapat
digeneralisir, namun setidaknya
ini fakta yang tidak boleh
diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa kita
kelak menjadi manusia yang
tidak bermoral sebagaimana saat
ini sering kita melihat tayangan
TV yang mempertontonkan
berita-berita seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan,
korupsi, dan penculikan, yang
dilakukan tidak hanya oleh
orang-orang dewasa, tapi juga
oleh anak-anak usia belasan.
Mencermati hal ini, saya mencoba memberikan beberapa
gagasan untuk penguatan mutu
karakter SDM sehingga mampu
membentuk pribadi yang kuat
dan tangguh. Pembahasan ini
akan mengacu pada peran pendidikan, terutama pendidik
sebagai kunci keberhasilan
implementasi pendidikan
karakter di sekolah dan
lingkungan baik keluarga
maupun masyarakat. Pendidikan merupakan hal
terpenting untuk membentuk
kepribadian. Pendidikan itu tidak
selalu berasal dari pendidikan
formal seperti sekolah atau
perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun
memiliki peran yang sama untuk
membentuk kepribadian,
terutama anak atau peserta
didik. Pendidikan formal adalah
jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan
tinggi. Sementara pendidikan
nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan
berjenjang. Satuan pendidikan
nonformal terdiri atas lembaga
kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis
taklim, serta satuan pendidikan
yang sejenis. Sedangkan
pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan
lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga
dan lingkungan dalam bentuk
kegiatan belajar secara mandiri.
Memperhatikan ketiga jenis
pendidikan di atas, ada
kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan
informal dan pendidikan non
formal yang selama ini berjalan
terpisah satu dengan yang
lainnya. Mereka tidak saling
mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian
peserta didik. Setiap lembaga
pendidikan tersebut berjalan
masing-masing sehingga yang
terjadi sekarang adalah
pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya
anak bersikap baik di rumah,
namun ketika keluar rumah atau
berada di sekolah ia melakukan
perkelahian antarpelajar,
memiliki ’ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau
melakukan perampokan. Sikap-
sikap seperti ini merupakan
bagian dari penyimpangan
moralitas dan prilaku sosial
pelajar. Oleh karena itu, ke depan dalam
rangka membangun dan
melakukan penguatan peserta
didik perlu menyinergiskan
ketiga komponen lembaga
pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah
pendidik dan orangtua
berkumpul bersama mencoba
memahami gejala-gejala anak
pada fase negatif, yang meliputi
keinginan untuk menyendiri, kurang kemauan untuk bekerja,
mengalami kejenuhan, ada rasa
kegelisahan, ada pertentangan
sosial, ada kepekaan emosional,
kurang percaya diri, mulai timbul
minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan,
dan kesukaan berkhayal
(Mappiare dalam Suyanto dan
Hisyam, 2000: 186-87). Dengan
mempelajari gejala-gejala
negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan
pendidik akan dapat menyadari
dan melakukan upaya perbaikan
perlakuan sikap terhadap anak
dalam proses pendidikan formal,
non formal dan informal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.